Menjewer Kesadaran 'Cupet' dan Komunikasi yang Macet

Jumat, 3 Februari 2023 07:06 WIB

Share
(Foto Poskota Lampung)
(Foto Poskota Lampung)

Oleh Yulizar Lubay*


Reflektif dan marah, demikian kiranya nada diskusi dalam acara Satu Malam, 27-an yang diadakan di Lantai 2 Graha Kemahasiswaan Unila, 27 Januari 2023.

Diskusi bernada refleksi dan marah tersebut mengambil tema "Seni dan Budaya untuk Lampung Berjaya." Satu tema yang dikancah oleh beberapa kelompok, praktisi, pemerhati seni dan budaya di (untuk) tanah Lampung tercinta: KAULA (Keluarga Alumni UKMBS Unila), KoBer (Komunitas Berkat Yakin), Lampung Kultur, dan UKMBS Unila.

Dibuka dengan penampilan Orkes Bada Isya, dipandu oleh Habib Alidengi dan Junior De Santoz, pun dihadiri oleh puluhan apresian dari berbagai kalangan dan bidang keilmuan, acara diskusi terasa hangat bahkan cenderung panas, meskipun di luar dingin lantaran diguyur air hujan. 

Kopi dan kudapan terhidang, menjadi saksi wacana kompleks tentang seni dan kebudayaan: sebuah project kewarasan di tengah kesadaran cupet dan komunikasi yang macet.

Gino Vanolie (Pemerhati Budaya dan Kepala Kantor DPD RI Provinsi Lampung) dan Ari Pahala Hutabarat (Direktur Artistik Komunitas Berkat Yakin) didapuk sebagai pembicara. Mas Gino, sapaan akrabnya, menyampaikan power point pemikiran bahwa masyarakat Lampung dan seluruh stakeholder yang terkait (intelektual, budayawan, akademisi, seniman) perlu melakukan dialog produktif untuk membahas reorientasi dalam segala bidang, utamanya pendidikan, kesenian, dan kebudayaan. 

"Pihak kampus, misalnya, seperti abai dan tidak tertarik membicarakan IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Padahal IPM adalah persoalan yang sangat serius," katanya dengan penuh penyesalan. 

Dalam lanskap pendidikan, kiranya perlu dikutipkan ucapan Dr. Muhammad Nur Rizal, seorang tokoh Gerakan Sekolah Menyenangkan yang berfokus pada pembangunan Budaya Pendidikan di Indonesia. Dalam ceramahnya ia berkata, "Kalau tidak ada revolusi, Indonesia, kata Lant Pritchett; profesor Harvard yang meneliti Indonesia, akan tertinggal 128 tahun.

Kenapa, kok ini terjadi? Karena budaya pendidikan kita memang bukan memanusiakan, bukan bercondong pada kebutuhan manusia. Pendidikan kita itu masih bercondong pada kebutuhan industri. Industri itu seneng standarisasi. Industri itu seneng kepatuhan. Maka yang diukur adalah administrasi."

Kalau budaya seperti ini terlalu dominan di dalam pendidikan kita, kata M. Nur Rizal lagi, "Maka fokus kita bukan pada proses belajar murid, bukan pada tumbuhnya potensi keberagaman murid, bukan pada tumbuhnya imajinasi dan curiosity murid, tetapi pada data-data nilai dan data-data itulah yang dipakai untuk menentukan apakah sekolah itu favorit atau tidak. Sekolah itu layak dapat hibah atau tidak.

Halaman
Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar
Berita Terpopuler