Pemilu dan Serigala: Sebuah Kaleidoskop
Senin, 16 Mei 2022 11:03 WIB
Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Kita sudah “berpengalaman” dengan 12 kali pemilu selama kurun waktu 64 tahun (1955 – 2019). Cukupkah itu untuk “mendewasakan” kita sebagai “insan politik”?
Akankah di pemilu 2024 nanti kita akan “cukup matang” dalam menentukan pilihan? Yaitu untuk memilih Capres-Cawapres, Caleg (DPR-RI, DPD-RI, DPRD Prov., DPRD Kab/Kota), dan Kepala Daerah plus wakilnya di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Memilih secara “dewasa” dan “matang” dengan mudah kita artikan sebagai memilih secara rasional. Dengan melepas anasir-anasir fanatisme, primordialisme, maupun isme-isme lain yang berpotensi menyempitkan pandangan obyektif kita.
Sedangkan arti “insan politik” dimaknai seperti yang dimaksud oleh Aristoteles, bahwa manusia itu sejatinya adalah “zoon politicon” (makhluk sosial). Zoon (makhluk, atau “hewan”) yang “politicon” (bermasyarakat). Kodrat hidupnya bersosialisasi, berinteraksi satu sama lain.
Catatannya, walau Adam Smith mengatakan Homo Homini Socius, manusia adalah sahabat bagi sesamanya, namun ia juga memandang manusia itu sebagai Homo Economicus. Makhluk ekonomi, lantaran kecenderungannya yang tak pernah puas. Maka ia selalu berupaya memenuhi kebutuhan (serta keinginannya). Akibatnya, secara natural, dalam segala upaya serta interaksi sosial itu terjadilah: kompetisi!
Sedangkan Thomas Hobbes “terang-terangan” memandang bahwa manusia itu kecenderungannya adalah jadi serigala (musuh) bagi manusia lainnya (Homo Homini Lupus). Jadi bagaimana ini?
Konsekuensinya, demi menjamin “rasa aman” dalam kehidupan bersama, di dalam suatu tatanan sosial mesti ada aturan (norma) yang disepakati. Semacam “kontrak sosial” yang mengikat kita untuk menjamin kehidupan sosial yang harmonis (taat hukum).
Memang ada semacam paradoks, dimana segala aturan hukum (norma) itu jadi “mengikat” kita, namun justru dalam ikatan hukum itulah kita serentak “dibebaskan” dari bahaya saling memangsa laksana serigala tadi. Manusia jadi “bebas” berinteraksi dengan aman, lantaran “terikat” oleh norma (aturan). Paradoksal.