Manjau Mulei: Cara Bujang-Gadis Lampung Memadu Kasih
Jumat, 28 Januari 2022 12:28 WIB
LAMPUNG.POSKOTA.CO.ID -- Pada muli mekhanai (bujang - gadis) Lampung generasi 70an dan sebelumnya dikenal istilah manjau muli atau nganjang gadis. Istilah manjau ini merupakan salah satu budaya, adat istiadat, tata cara pergaulan (memadu cinta) antara muda-mudi Lampung. Pertama kali saya mendengarnya ketika saya berusia sekitar 10 (sepuluh) tahun, di tiyuh Gunung Katun, Tulang Bawang Udik.
Awal mulanya, pada saat itu, salah seorang keluarga kami akan melaksanakan acara adat perkawinan, cakak pepadun di tiyuh leluhur kami tersebut.
Pacar (kahagou: Bahasa Lampung) ? Belum terpikir pada waktu itu, masih sangat "muda". Seperti biasa, pulang kampung memang menjadi momen yang ditunggu. Pukul 4 pagi kami berangkat dari Tanjung Karang. Dimulailah perjalanan menuju tiyuh Gunung Katun yang saat itu hanya dapat di tempuh dengan kendaraan darat, dengan route Bandar Lampung - Gunung Sugih - Bandar Jaya - Menggala- Panaragan-Gn Katun, yang ditempuh dengan waktu sekitar delapan jam saja. Saat itu jalanan menuju kesana masih dari tanah, dan celakanya saat itu adalah musim penghujan, maka klop lah pertemuan antara jalan tanah dan air hujan. Beruntung mobil kami memiliki derek yang dapat diikatkan dipohon. Terkadang kami harus turun dan berjalan kaki melewati tempat-tempat yang gajah pun sepertinya malas melintasinya.
Masyarakat Lampung secara keadatan, terdiri dari dua kelompok besar yaitu Pepadun dan Saibatin. Dari akulturasi kedua masyarakat adat inilah Lampung dikenal sebagai dengan motto “Sai Bumi Ruwa Jurai”. Masyarakat Lampung memiliki tata nilai budaya yang sangat tercermin dari falsafah hidup mereka: Pi’il pesenggiri (harkat dan martabat), juluk adek (memiliki identitas) nemui nyimah (sopan santun dan bermurah hati), nengah nyappur (bergaul) dan sakai sambayan (topong menolong). Waw KEREN ABIS ya bro ! boleh dicontoh tuh, falsafah hidup masyarakat Lampung yang masih diwariskan hingga sekarang.
Betapa senangnya hati ketika tiba, bertemu kerabat dan keluarga besar. Kami biasa mulai bersend gurau melepas kangen sambil mencicipi berbagai makanan khas termasuk "setelo pajak (mantang rebus)", oleh-oleh yang kami beli di Bandar Jaya. Saat itu, keluarga memang kumpul semua, karena ini memang acara cakak pepadun adik laki-laki dari ibu.

Malam tiba, mulailah kami makan malam dengan menu seruit. Saat itu sangat mudah untuk mendapatkan ikan di tiyuh. Lalapnya tentu saja ada umbuk alias "rotan muda" kesukaan saya. Delan (terasi) nya juga pasti delan Menggalo.
Setelah makan malam, kakak sepupu saya mengajak saya manjau di mulei. Inilah pengalaman pertama saya manjau. Untuk manjau, biasanya bujang melawati bawah (maklum rumah panggung) kearang belakang. Dari Bawah rumah, bujang biasanya memberikan isyarat dengan menghidupkan korek. Si gadis empunya rumah biasanya sudah tau kalau ada cahaya korek berarti ada bujang yang ingin nganjang. Karena suasana yang begitu gelap, tidak jarang kita terpaksa tersandung di bawah rumah he he he. Usaha itu akan terbayar apabila akhirnya mendengar suara sang pujaan hati. Bujang gadis biasanya ngobrol atau bersuratan melalui lubang-lubang kayu di dinding. Apabila keluarga gadis berkenan, bujang bisa saja kemudian disuruh untuk ngobrol di serambi rumah, dikenal dengan istilah
Ada kenagan lain yang saya ingat, saat itu seorang gadis bisa saja memiliki empat atau lima pakar/kahago dan semuanya datang manjau pada saat bersamaan. Gadis Lampung mengang hebat, tidak terdengar keributan antara emapt-atau lima bujang pacarnya datang manjau bersamaan. Si gadis juga sangat pandai meladeni semuanya.
Beda sekali ya gadis sekarang yang hanya punya satu pacar. Enggan mendua dan seolah pastilah si pacar jadi miliknya.